Perselingkuhan: Antara Benci, Tapi (Tanpa Sadar) Mendukung
SESUATU yang membuat orang-orang berpasangan (pacaran atau menikah) selalu “was-was”, dan para lajang “takut”, adalah fakta tentang maraknya perselingkuhan. Ditambah banyaknya lagu gombal yang mengatakan, “selingkuh itu indah”, atau “selingkuh itu dosa terindah”. Haduh!
Siapa pun berpotensi selingkuh
“Selingkuh secara umum adalah tidak setia kepada suatu komitmen (pacaran, pernikahan), dengan membuat komitmen lain -- apakah pacaran lagi, nikah lagi, atau sekadar HTS -- namun, tidak bisa atau tidak mau menyelesaikan dengan yang lama, yang pertama,” cetus Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis di biro psikologi Westaria (www.westaria.com). “Kenapa selingkuh? Karena merasa tidak cukup dengan yang satu (si pertama). Tidak cukup di sini bisa kepada banyak hal. Physically, kenyamanan, keamanan, materi yang didapatkan, dan lain-lain,” imbuhnya.
Munculnya rasa tidak cukup, bersumber dari apa yang dicari atau diharapkan seseorang dari pasangannya. Karenanya, alasan selingkuh bagi satu dan yang lainnya berbeda, belum tentu sama.
“Ketika yang diharapkan seseorang adalah rasa nyaman (kenyamanan), munculnya harapan dari kebutuhan. Kenapa butuh? Karena sebelumnya tidak mendapatkan atau kurang. Sehingga, sebanyak apapun pasangannya memberi secara materi, setampan atau secantik apapun pasangannya, namun tidak bisa memberi kenyamanan yang dia butuhkan atau dia harapkan, maka dia secara sadar maupun tidak, niat atau tidak, akan merasa tidak puas,” papar Anggia.
Karena itu, banyak orang-orang kemudian berkomentar, suaminya kaya-raya, malah selingkuh dengan “orang biasa” (miskin). Atau, istrinya kurang cantik, malah selingkuh dengan “model begitu” (tidak cantik). “Jadi tidak ada ketentuan pasti. Kriteria orang seperti apa yang bisa dijadikan selingkuhan. Termasuk orang seperti apa yang bisa selingkuh,” ujar Anggia.
“Intinya cuma satu. Tidak mampu bersyukur. Ketika kita sudah memilih bersama seseorang dalam satu komitmen (pacaran atau menikah), seharusnya dalam komitmen itu kita syukuri. Toh, setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Jangan seakan-akan merasa sempurna, sehingga tidak mau menerima kekurangan pasangan,” sambungnya panjang.
Apakah kita mendukung perselingkuhan?
Benci. Sebal luar biasa dengan yang namanya perselingkuhan. Tapi, kok kasus perselingkuhan semakin marak dan semakin berjarak dekat dengan kita. Saudara, teman main, atau siapa pun yang kita kenal baik, ternyata pelaku perselingkuhan! Ironisnya, mereka bahkan bangga menjadi pelaku selingkuh yang jelas-jelas dari sisi etika apa lagi agama salah.
“Hal ini bisa terjadi, terutama terkait dengan lemahnya “pagar” dari lingkungan masyarakat sekitar. Karena seharusnya, hukuman yang paling mudah itu adalah 'malu',” Anggia merinci. “Karena salah satu pembeda manusia dengan hewan, adalah adanya rasa malu -- yang terbentuk dari nilai-nilai yang ada di masyarakat,” lanjutnya.
Maka, jika kita semakin sering mendengar dan melihat orang atau teman yang bangga karena selingkuh (bahkan pamer), sepatutnya merasa khawatir. “Itu berarti kita tinggal di lingkungan yang longgar terhadap nilai dan aturan. Atau jangan-jangan, kita termasuk orang yang longgar terhadap nilai dan aturan?” tanya Anggia.
“Banyak di antara kita yang tanpa sadar menjadi orang yang 'longgar' hanya karena berusaha mempertahankan citra sebagai orang baik, bukan orang benar,” pungkasnya. Mari kita bertanya pada diri masing-masing. Apakah kita (tanpa sadar) mendukung perselingkuhan?